Cerita Pendek II : Sandra

Rachelle A.
2 min readFeb 25, 2021
Photo by Tiko Giorgadze on Unsplash

Siang tadi, aku berbincang dengan Naib tentang indahnya parasmu saat aku menjamahmu malam itu.

Aku tersentuh akan usaha Naib yang mencoba untuk menghibur hatiku yang sedang pilu.

Hampa. Sedikit hangat. Seakan-akan kaudatang untuk menghampiriku.

Andai saja aku abadikan lekuk tubuhmu, akan kubingkai sketsa wajahmu, elokmu; dan kupajang parasmu di tembok kamarku. Akan aku letakkan dirimu tepat di sebelah vas tua berisi mawar kesukaanmu.

Merah muda. Tidak terlalu muda, tidak terlalu merah. Bisa kubilang sedikit ungu. Sulit sekali mencarinya — bunga itu — meskipun tidak sesulit menghidupkanmu kembali. Meskipun sulit, setidaknya, aku bisa menggenggam bayang-bayangmu yang kian memudar. Walau layu dalam seminggu, akan kukuras dompetku sewaktu perlu hanya untuk mengingat senyummu tiap kuberikan setangkai bunga itu; aroma tubuhmu tiap menciummu; rona bibirmu tiap mencumbumu.

Sandra.

Dalam doa, kusebut namamu. Kuulangi ucapku bagai kaset usang, mengucap mantra, membujuk-Nya untuk mengembalikanmu.

Tuhan, mengapa Engkau mengambil Sandraku begitu cepat? Sandra yang cantik — begitu cantik — dan selalu cantik.

Sandra yang tak pernah menunjukkan rintihnya ketika aku ada bersamanya. Sandra yang mampu menahan pilu ketika aku membiru disampingnya. Sandra yang memikat seluruh dunia dengan tatapannya.

Tuhan, aku mohon. Kembalikanlah Sandraku. Akan kutukar dengan nyawaku, kehidupanku, harta bendaku, segala-galanya, untuknya, agar dia kembali menapak di dimensi yang menyiksa ini.

Walau ia telah lenyap dengan sayatan dan hina yang ia rasakan selama berpijak di dunia, kepergiannya meninggalkan jejak yang begitu kosong dan sangat hampa.

Tolong. Kembalikanlah Sandra kepadaku.

Aku egois dan menyedihkan; bejat, seorang pendusta; seorang penipu, segala-galanya yang Engkau coreng dalam kitab suci-Mu. Tapi pantaskah menjadikan kepergian Sandraku sebagai sebuah hukuman? Layakkah aku hidup dalam lembah penderitaan? Bukankah aku yang seharusnya Engkau lenyapkan?

Doa.

Aku berdoa hingga lupa cara berdusta. Lupa cara mencinta; bercinta. Lupa cara bersuara; bersua.

Aku terpaku dalam bisikmu yang terus memanggilku untuk ikut bersamamu.

Aku sedang menunggumu untuk menjemputku.

Namun siapa yang akan mengabadikan parasmu yang begitu memikat? Siapa yang akan mengingat senyummu yang begitu mencekal? Siapa yang akan mengisahkan ceritamu di hadapan dunia?

Aku tak bisa merelakan kepergianmu, pun tak bisa merelakan kehilanganmu. Jikalau kupergi, akankah kulupakan dirimu? Akankah kubertemu denganmu? Akankah kukian menjauh dari genggamanmu?

Oh, Sandra. Aku hidup tak berdaya. Jika ada yang bisa menjanjikanku dengan kehadiranmu, akan kucari dirimu hingga ke seluruh penjuru kekelaman yang ada.

Hanya saja, duniamu masih penuh dengan ketidakpastian. Dan, kau tahu? Ketidakpastian adalah dosa yang lebih mencekal daripada kematian.

Tunggu aku.

Sebentar lagi.

Written, 2019. Edited, 2021. Grieving, Vol. I.

--

--